Read more: http://blogkomputer12.blogspot.com/2012/06/cara-membuat-teks-berjalan-di-title-bar.html#ixzz27VHgdOSz

Thursday, February 2, 2012

Manajemen Berbasis Sekolah

2.4.1.      Konsep MBS
Secara bahasa Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah pengkoordinasian dalam  penggunaan  sumberdaya secara efektif untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Catatan: sumber daya terbagi menjadi sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya (peralatan, perlengkapan, bahan/material, dan uang); input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program.

Berbasis berarti "berdasarkan pada" atau "berfokuskan pada". Sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) atau suatu lembaga pendidikan dimana disana terjadi proses belajar mengajar serta tempat menerima dan memberikan pembelajaran. Dari definisi di atas maka menurut  Dermawan (2006) Manajemen Berbasis Sekolah adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otonomis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif)". Catatan: kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan. Nurkholis (2006)  mendefinisikan Manajemen berbasis sekolah adalah penggunaan sumber daya yang berasaskan kepada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran dan pembelajaran.
Dari asal usul peristilahan, Manjemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah terjemahan langsung dari School Based Manajement (SBM). Istilah ini  mula-mula muncul di Amerika pada tahun 1970-an sebagai alternative untuk mereformasi pengelolaan pendidikan atau sekolah, dimana terjadi pergeseran tanggung jawab pada tingkat sekolah dengan manajemen mandiri.
Wohlstetter dan Wohrman dalam Nurkholis (2006) mendefinisikan makna yang lebih luas  tentang MBS yang diartikan suatu pendekatan politis untuk mnedesain ulang oganisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah pada tingkat local guna memajukan sekolahnya, partisipan lokal adalah kepala sekolah, guru, konselor, pengembang kurikulum, administrator, orang tua siswa, masyarakat sekita, dan siswa.
Secara lebih sempit MBS hanya mengarah kepada perubahan tanggung jawab pada bidang tertentu, seperti dikemukan oleh Kubik  dalam Nurkholis (2006) bahwa MBS meletakkan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan dari pemerintah daerah kepada sekolah yang menyangkut bidang anggaran, personil, dan kurikulum, karena itu MBS memberikan control proses pendidikan kepada kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua.
Kementrian  Pendidikan Nasional Repubrik Indonesia menyebut MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang diartikan sebagai model manajemen yang member otonomi lebih besar pada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Dari beberapa definisi tentang MBS, dengan demikian penulis dapat menyimpulkan MBS adalah suatu model pengelolaan sekolah dengan memberikan wewenang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sekolahnya masing-masing secara langsung dengan penuh tanggung jawab untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.

2.4.2.   Latar Belakang Adanya Manajamen   Berbasis Sekolah di Indonesia
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah masih rendahnya mutu pendidikan dari sebagian sekolah khususnya sekolah dasar dan menengah di pedesaan, misalnya di pedalaman dan di perbatasan. Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan delapan (8) standar nasional pendidikan, alokasi dana pendidikan minimal 20% APBN dan APBD, sertifikasi pendidik beserta tunjangan profesinya, penerapan ujian nasional, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pendidikan, dan sejumlah terobosan baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun demikian, mutu pendidikan nasional belum merata di seluruh tanah air. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, secara umum, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, sebaliknya sebagian lainnya khususnya di pedesaan, masih memprihatinkan. Jadi, kesenjangan mutu pendidikan nasional masih cukup lebar. 
Faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain  (1) penerapan pendekatan sistem secara parsial, (2) belum maksimalnya penerapan MBS, dan (3) rendahnya partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah.
 Faktor pertama, penerapan pendekatan sistem dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sering dilaksanakan secara parsial. Sekolah sebagai sistem terdiri dari konteks, input, proses, output, dan outcome. Dalam kenyataannya, pengembangan sekolah sering difokuskan pada input saja (guru, kurikulum, sarana dan prasarana, dana, dsb.), proses saja (proses belajar mengajar, penilaian hasil belajar, kepemimpinan sekolah, dsb.), atau output saja (nilai ujian nasional, perlombaan karya ilmiah, dsb.). Padahal, penyelenggaraan sekolah sebagai sistem harus dilakukan secara utuh, tidak parsial. Artinya, pengembangan sekolah secara sistem harus mencakup seluruh komponen sekolah secara utuh mulai dari konteks, input, proses, output, hingga sampai outcome. 
 Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional yang dilakukan secara birokratik-sentralistik telah menempatkan sekolah sebagai subordinasi yang sangat tergantung pada keputusan birokrasi diatasnya yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang diberlakukan kurang sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Karena sekolah lebih merupakan subordinasi dari birokrasi di atasnya, maka mereka kehilangan kemandiriannya, terpasung kreatifitasnya/inisiatifnya, rendah keluwesannya, rendah motivasinya, dan rendah keberanian moralnya untuk melakukan hal-hal baru yang diperlukan untuk memajukan sekolahnya.
 Faktor ketiga, peranserta warga sekolah khususnya guru, karyawan dan siswa serta peranserta masyarakat khususnya orangtua siswa dalam penyelenggaraan sekolah selama ini belum optimal. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, padahal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah sangat tergantung pada guru. Dikenalkan pembaruan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi perubahan di sekolah tersebut. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya sebatas pada dukungan dana, sedang dukungan-dukungan lain seperti pemikiran, moral, pisik, dan material belum optimal. Padahal, kesuksesan sekolah sangat memerlukan teamwork yang kompak, cerdas, dinamis, harmonis, dan lincah. Hal ini hanya akan terjadi apabila pertisipasi warga sekolah dan masyarakat maksimal. Partisipasi maksimal akan mampu meningkatkan rasa kepemilikan terhadap sekolah dan rasa kepemilikan akan meningkatkan dedikasi warga sekolah dan masyarakat terhadap sekolah.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah sebagai perwujudan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka sebagian besar kewenangan pemerintahan Pusat dilimpahkan ke Pemerintahan Daerah. Dengan otonomi dan desentralisasi, diharapkan masing-masing daerah termasuk masyarakatnya akan lebih terpacu untuk mengembangkan daerah masing-masing agar dapat bersaing. Dalam bidang Pendidikan muara tujuan dari otonomi ini adalah peningkatan mutu / kualitas pendidikan di Indonesia
Salah satu pendekatan yang dipilih di era desentralisasi sebagai alternatif peningkatan kualitas pendidikan persekolahan adalah pemberian otonomi yang luas di tingkat sekolah serta partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Pendekatan tersebut dikenal dengan model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based Management.
Maka dari itu, dengan adanya MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang dicanangkan oleh pemerintah dapat memberikan otoritas kepada sekolah dan pihak terkait sebagai stake holder (semua yang terlibat dalam pengelolaan sekolah) untuk mengembangkan, mengelola, mengontrol, memutuskan kebijakan demi kemajuan sekolah dengan sinergi team work dalam pelaksanaan MBS.
                                                              
2.4.3.      Landasan Yuridis  Dalam Penyelenggaraan MBS di Indonesia
      Penerapan MBS dilandasi oleh peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku di Indonesia, yaitu:
a.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab XIV, Pasal 51, Ayat (1);
b.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab II, Pasal 3);
c.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab VIII, Pasal 49, Ayat (1);
d.   Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah;
e.    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan; dan
f.     Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.


MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan.
Dengan MBS, sekolah diharapkan makin mampu dan berdaya dalam mengurus dan mengatur sekolahnya dengan tetap berpegang pada koridor-koridor kebijakan pendidikan nasional. Perlu digarisbawahi bahwa pencapaian tujuan MBS harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya)

2.4.5.      Karakteristik MBS
  Manajemen Berbasis Sekolah memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam menerapkan MBS, maka sejumlah karakteristik MBS berikut perlu dimiliki. Berbicara karakteristik MBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MBS merupakan wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh karena itu, karakteristik MBS berikut memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses, dan output.
Dalam menguraikan karakteristik MBS, pendekatan sistem yaitu input-proses-output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan sistem sehingga penguraian karakteristik MBS (yang juga karakteristik sekolah efektif) mendasarkan pada input, proses, dan output. Selanjutnya, uraian berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.
Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah pencapaian/prestasi yang dihasilkan oleh proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektivitasnya, kualitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya.
Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana sasaran (kuantitas, kualitas, waktu) telah dicapai. Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan.
Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat. Mutu barang atau jasa dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan seperti disain, operasi produk atau jasa dan pemeliharaannya.
Produktivitas adalah hasil perbandingan antara output dibagi input. Baik output maupun input adalah dalam bentuk kuantitas. Kuantitas input berupa tenaga kerja, modal, bahan, dan energi. Kuantitas output dapat berupa jumlah barang atau jasa, tergantung pada jenis pekerjaan.
Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output pendidikan (pencapaian belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk memroses/menghasilkan output pendidikan. Efisiensi internal biasanya diukur dengan biaya-efektivitas. Setiap penilaian biaya-efektivitas selalu memerlukan dua hal, yaitu penilaian ekonomik untuk mengukur biaya masukan (input) dan penilaian hasil pembelajaran (prestasi belajar, lama belajar, angka putus sekolah). Sedang efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang didapat setelah pada kurun waktu yang panjang diluar sekolah. Analisis biaya-manfaat merupakan alat utama untuk mengukur efisiensi eksternal.
Inovasi adalah proses yang kreatif dalam mengubah input, proses, dan output agar dapat sukses dalam menanggapi dan mengantisipasi perubahan-perubahan internal dan eksternal sekolah. Inovasi selalu memberikan nilai tambah terhadap input, proses, maupun output yang ada.
Kualitas kehidupan kerja adalah kinerja sekolah yang ditunjukkan oleh ukuran tentang bagaimana warga sekolah merasakan hal-hal seperti: pekerjaannya, kemanfaatannya, kondisi kerjanya, kesan dari atasan ke bawahan dan sebaliknya, kawan/kolega kerjanya, peluang untuk maju, pengembangan, kepastian, keselamatan dan keamanan, dan imbal jasanya.
Moral kerja adalah tingkat baik buruknya warga sekolah terhadap pekerjaannya yang ditunjukkan oleh etika kerjanya, kedisiplinannya, kejujurannya, kerajinannya, komitmennya, tanggungjawabnya, hubungan kerjanya, daya adaptasi dan antisipasinya, motivasi kerjanya, dan jiwa kewirausahaannya (bersikap dan berpikir mandiri, memiliki sikap berani mengambil resiko, tidak suka mencari kambing hitam, selalu berusaha menciptakan dan meningkatkan nilai sumberdaya, terbuka terhadap umpan balik, selalu ingin mencari perubahan yang lebih baik, tidak pernah merasa puas dan terus menerus melakukan inovasi dan improvisasi demi perbaikan selanjutnya, dan memiliki tanggungjawab moral yang baik)
Proses merupakan berubahnya "sesuatu" menjadi "sesuatu yang lain". Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut "input", sedang sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala mikro (sekolah), proses yang dimaksud adalah: (a) proses pengambilan keputusan, (b) proses pengelolaan kelembagaan, (c) proses pengelolaan program, dan (d) proses belajar mengajar.
1.         Proses Pengambilan Keputusan
Proses pengambilan keputusan partisipatif merupakan salah satu "inti" MBS. Esensi proses pengambilan keputusan partisipatif adalah untuk mencari "wilayah kesamaan" antara kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stakehorder) yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orangtua siswa, dan pemerintah/yayasan). Wilayah kesamaan inilah yang menjadi modal dasar untuk menumbuhkan "rasa memiliki" bagi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah dan ini dapat dilakukan secara efektif melalui pelibatan semua kelompok kepentingan dalam proses pengambilan keputusan. Pelibatan kelompok kepentingan dalam proses pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdiksi, dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan.
Menurut Cangemi (1985), paling tidak ada tiga pertanyaan yang harus dijawab oleh kepala sekolah sewaktu akan menerapkan pengambilan keputusan partisipatif: (1) bagaimana cara menentukan, dalam setiap kasus, apakah cocok dan produktif jika pengambilan keputusan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (2) kemudian, jika proses pengambilan keputusan perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, pertanyaan kedua adalah: bagian yang mana dari proses pengambilan keputusan yang perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (3) pertanyaan ketiga adalah cara yang mana (apa) yang paling efektif untuk melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan?
Tentunya tidak semua wilayah (zona) pengambilan keputusan harus melibatkan semua kelompok kepentingan. Ada wilayah-wilayah yang memang merupakan hak prerogatif pimpinan untuk diputuskan secara sendirian dan bawahan harus menerimanya tanpa syarat. Kalaupun pimpinan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, maka hal ini harus dipikirkan secara mendalam dan terkontrol pelaksanaannya.
Ada empat petunjuk untuk mengidentifikasi pengambilan keputusan yang harus melibatkan para kelompok kepentingan, yaitu relevansi, kompetensi, yurisdiksi, dan kompatibilitas tujuan. Pertama, adalah tingkat relevansinya. Sekiranya keputusan yang akan diambil relevan dengan kebutuhan kelompok kepentingan tertentu (kelompok yang bakal terkena dampak keputusan), maka pengambilan keputusan sebaiknya melibatkan kelompok kepentingan tersebut. Kedua, adalah uji keahlian. Artinya, kelompok kepentingan yang akan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, harus memiliki sesuatu untuk dikontribusikan. Mereka harus memiliki kompetensi untuk ikut serta dalam memecahkan persoalan-persoalan yang terkait dengan kepentingannya. Ketiga, uji yurisdiksi. Sekolah didirikan untuk menjalankan fungsinya melalui struktur-herarkis. Karena itu, ada batas-batas yurisdiksi yang memang tidak semua kelompok kepentingan harus terlibat dalam pengambilan keputusan. Pelibatan yang tidak proporsional secara yurisdiksi akan cenderung membuat frustasi dan kemarahan yang tidak berdasar. Keempat, uji kompatibilitas tujuan. Apabila kompatibilitas tujuan dari semua kelompok kepentingan diinginkan, maka pelibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan sangat diperlukan.
2.      Proses Pengelolaan Kelembagaan
                     Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, harus dikelola secara profesional agar menjadi "sekolah belajar" (learning school) yang mampu menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya. Untuk menjadi sekolah belajar, maka sekolah harus:

1).
memberdayakan sumber daya manusianya seoptimal mungkin,
2).
memfasilitasi warga sekolahnya untuk belajar terus dan belajar kembali,
3).
mendorong kemandirian (otonomi) setiap warganya,
4).
memberikan tanggungjawab kepada warganya,
5).
mendorong setiap warganya untuk "mempertanggungugatkan" (accountability) terhadap hasil kerjanya,
6).
mendorong adanya teamwork yang kompak dan cerdas dan shared value bagi setiap warganya,
7).
merespon dengan cepat terhadap pasar (pelanggan),
8).
mengajak warganya untuk menjadikan sekolahnya customer focused,
9).
mengajak warganya untuk nikmat/siap berhadap perubahan,
10).
mendorong warganya untuk berfikir sistem, baik dalam cara berfikir, cara mengelola, maupun cara menganalisis sekolahnya,
11).
mengajak warganya untuk komitmen terhadap "keunggulan kualitas",
12).
mengajak warganya untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus, dan
13).
melibatkan warganya secara total dalam penyelenggaraan sekolah.


3.      Proses Pengelolaan Program
            Pengelolaan program merupakan pengkoordinasian dan penyerasian program sekolah, yang meliputi: (1) perencanaan, pengembangan, dan evaluasi program sekolah, (b) pengembangan kurikulum, (c) pengembangan proses belajar mengajar, (d) pengelolaan sumberdaya manusia (guru, karyawan, konselor, dan sebagainya.), (e) pelayanan siswa, (f) pengelolaan fasilitas, (g) pengelolaan keuangan, (h) perbaikan program, dan (i) pembinaan hubungan antara sekolah dan masyarakat.
4.      Proses Belajar Mengajar
            Sedang proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar yang dilakukan melalui interaksi perilaku pengajar dan perilaku pelajar, baik di ruang maupun di luar kelas. Karena proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar, maka penekanannya bukan sekadar penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), tetapi merupakan internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati serta dipraktekkan oleh pelajar (etos).
            Selain itu, proses belajar mengajar semestinya lebih mementingkan proses pencarian jawaban dari pada memiliki jawaban. Karena itu, proses belajar mengajar yang lebih mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh pengajar adalah kurang efektif. Proses belajar mengajar yang efektif semestinya menumbuhkan daya kreasi, daya nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasi-eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru (meskipun hasilnya keliru), memberikan keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, menumbuhkan demokrasi, dan memberikan toleransi pada kekeliruan-kekeliruan akibat kreativitas berfikir.
c.         Input Pendidikan
Input adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud tidak harus berupa barang, tetapi juga dapat berupa perangkat dan harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Berikut disampaikan sejumlah input dengan uraian seperlunya.
1.       Visi
Setiap sekolah yang akan menerapkan manajemen berbasis sekolah harus memiliki visi. Visi adalah wawasan yang menjadi sumber arahan bagi sekolah, dan digunakan untuk memandu perumusan misi sekolah. Dengan kata lain, visi adalah pandangan jauh kedepan kemana sekolah akan dibawa atau gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar sekolah yang bersangkutan dapat dijamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.
2.    Misi
Misi adalah tindakan untuk merealisasikan visi. Karena visi harus mengakomodasi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah, maka misi dapat juga diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi masing-masing dari semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah. Dalam merumuskan misi, harus mempertimbangkan tugas pokok sekolah dan kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah.

3.       Tujuan
Tujuan merupakan penjabaran misi. Tujuan merupakan "apa" yang akan dicapai/dihasilkan oleh sekolah yang bersangkutan dan "kapan" tujuan akan dicapai. Tujuan dirumuskan untuk jangka waktu 1-3 tahuan.
4.         Sasaran
Sasaran adalah penjabaran tujuan, yaitu sesuatu yang akan dihasilkan/dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu satu tahun, satu catur wulan, atau satu bulan. Agar sasaran dapat dicapai dengan efektif, maka sasaran harus dibuat spesifik, terukur, jelas kriterianya, dan disertai indikator-indikator yang rinci.
5.         Struktur Organisasi
Mengingat fungsi dasar sekolah berubah, dari subordinasi menjadi otonomi, dari pengambilan keputusan tunggal menjadi pengambilan keputusan partisiptatif, sudah tentu perubahan ini berdampak pada struktur organisasi yang telah ada, serta peran dari kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah.
6.         Input Manajemen
Kepala sekolah mengatur dan mengurus sekolahnya melalui sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membatu kepala sekolah mengelola sekolahnya dengan baik. Berikut adalah sejumlah input manajemen, dengan keterangan seperlunya:
1). Tugas
Kepala sekolah harus jelas memberikan tugas-tugas kepada bawahannya, yang dilengkapi ketentuan-ketentuan mengenai fungsi, wewenang, tanggungjawab, kewajiban dan hak.
2). Rencana
Rencana/rancang-bangun adalah diskripsi produk untuk keperluan pembuatan/pembangunan (diskripsi disebut kualifikasi untuk sumberdaya manusia, spesifikasi untuk sumberdaya selain sumber daya manusia). Rencana juga mengandung isi diskripsi kegiatan untuk keperluan penyelenggaraan, dalam arti, cukup lengkap untuk berlangsung. Dalam pendidikan, rencana yang dimaksud adalah rencana pengembangan sekolah.
3). Program
Program adalah alokasi sumberdaya kedalam kegiatan-kegiatan, menurut jadwal-waktu dan menunjukkan tatalaksana yang sinkron. Dengan kata lain program adalah bentuk dokumen untuk menggambarkan langkah-langkah untuk mewujudkan sinkronisasi dalam ketatalaksanaan, sebagai salah satu konsekwensi dari koordinasi.
4). Limitasi/Ketentuan-Ketentuan
Input manajemen yang menyangkut limitasi, yaitu yang muncul dalam berbagai bentuk ketentuan, seperti yang menyangkut kualifikasi, spesifikasi dan metoda ataupun prosedur, manual, dan peraturan-perundangan. Input manajemen yang berupa limitasi ini pada dasarnya merupakan aturan main atau rule of the game yang perlu diikuti oleh semua warga sekolah agar pengembangan sekolah berjalan lancar untuk mencapai tujuannya.
5). Pengendalian/Tindakan Turun Tangan
Input manajemen yang menyangkut pengendalian/pengawasan, yaitu yang muncul dalam wujud Tindakan Turun Tangan (T3), untuk meyakinkan bahwa tujuan/sasaran sekolah yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efektif dan efisien.
6). Sumberdaya
Sumberdaya merupakan jenis input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya, proses pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumber daya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya, dengan penegasan bahwa sumber daya selebihnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan sumberdaya manusia.


a.    Sumber Daya Manusia
Sumberdaya manusia merupakan hasil ciptaan-Nya yang paling sempurna dan karenanya harus didudukkan pada posisi tertinggi dalam setiap kehidupan organisasi termasuk organisasi yang disebut sekolah. Karena itu, sumberdaya manusia (kepala sekolah, guru, siswa, dll.) merupakan jiwa sekolah dan merupakan satu-satunya sumberdaya aktif, dan sumberdaya selebihnya merupakan sumberdaya pasif. Pada dasarnya, agar sekolah dapat berjalan secara efektif dan efisien, diperlukan kesiapan sumberdaya manusia. Kesiapan kemampuan menyangkut persyaratan kualifikasi dan kesiapan kesanggupan menyangkut pemenuhan kepentingan sumberdaya manusia.
b) Sumber Daya Selebihnya
Sumber daya selebihnya dapat dikelompokkan menjadi: peralatan, perlengkapan, perbekalan, bahan/material/sumber daya alam, uang, dan perangkat-perangkat lainnya, yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah
2.4.6     Prinsip-Prinsip MBS
Teori digunakan MBS dalam mengelola sekolah didasarkan pada empat prinsip yaitu prinsip ekuifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip sistem pengeloaan mandiri, dan  pinsip inisiatif sumber daya manusia
Prinsip ekuifinalitas menjadi landasan yang harus dimiliki oleh para pelaksana MBS di sekolah ataupun otoritas pendidikan diatasnya. Artinya setiap personel yang terkait dengan pengambilan keputusan sekolah harus memiliki perspektif yang luas dan setiap permasalahan dapat didekati dari berbagai cara yang berlainan. Tidak ada cara tunggal terbaik untuk memecahkan setiap masalah yang muncul di sekolah dapat diselesaikan dengan berbagai cara. 
Prinsip desentralisasi memandang bahwa masalah yang muncul di sekolah akan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya apabila penyelesaiannya diserahkan kepada pihak yang paling dekat dengan keberadaan masalah tersebut. Dalam menyelesaikan masalah pendidikan di sekolah, yang paling tahu adalah warga sekolah itu sendiri terutama guru, staf, kepala sekolah dan orang tua siswa. Sebagaimana Mohrman dkk bahwa otonomi secara luas menyangkut empat komponen penting yaitu kekuasaan atau kewengan, pengetahuan dan ketrampilan, informasi dan penghargaan.
Prinsip sistem pengelolaan mandiri. Desentralisasi dalam kekuasaan, pengetahuan dan ketrampilan, informasi dan penghargaan akan terlaksana bila sekolah diberi keleluasaan dalam pengelolaan sekolahnya secara mandiri. Hal terpenting agar sekolah dapat melakukan pengelolaan mandiri apabila para guru dan staf memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam menjalankan tugas-tugasnya. Di Indonesia sistem pengelolaan mandiri ini belum dimiliki karena banyak guru dan kepala sekolah yang belum memenuhi syarat untuk menjalankan pekerjaannya.
Prinsip inisiatif sumber daya manusia. MBS akan berhasil dengan baik apabila warga sekolah memiliki inisiatif dalam menjalankan pekerjannya dan inisiatif setiap individu dihargai. Yang menjadi masalah di Indonesia adalah kurangnya inisiatif dari warga sekolah karena tidak adanya rasa memiliki terhadap sekolah tersebut. 

2.4.8        Strategi Implementasi MBS
Menurut Nurkholis (2006) Pada dasarnya, tidak ada satu strategi khusus yang jitu dan bisa menjamin keberhasilan implementasi MBS di semua tempat dan kondisi. Oleh karena itu, strategi implementasi MBS di suatu negara dengan negara lain bisa berlainan, antara satu daerah dengan daerah lain juga bisa berbeda, bahkan antar sekolah dalam daerah yang sama pun bisa berlainan strateginya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa implementasi MBS akan berhasil melalui strategi-strategi berikut ini.
1.    sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu dimilikinya otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan , pengembangan pengetahuan dan ketrampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil.
2.    adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan intruksional serta non-intruksional.
3.    adanya kepemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif terutama kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum. Kepala sekolah dalam MBS berperan sebagai designer, motivator, fasilitator dan liaison.
4.    adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang aktif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah harus mengembangkan iklim demokratis dan memperhatikan aspirasi dari bawah.
5.    semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh. Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing harus ada sosialisasi terhadap konsep MBS itu sendiri.
6.    adanya guidelines dari Departemen Pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efektif dan efisien Guidelines itu jangan sampai berupa peraturan-peraturan yang mengekang dan membelenggu sekolah. Artinya tidak perlu lagi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam pelaksanaan MBS yang diperlukan adalah rambu-rambu yang membimbing.
7.    sekolah harus memilki transparansi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggungjawaban setiap tahunnya. Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggungjawaban sekolah terhadap semua stakeholder. Untuk itu sekolah harus dijalankan secara transparan, demokratis dan terbuka terhadap segala bidang yang dijalankan dan kepada setiap pihak terkait.
8.    penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah dan lebih khusus lagi adalah meningkatkan pencapaian belajar siswa. Perlu dikemukakan lagi bahwa MBS tidak bisa langsung meningkatkan kinerja belajar siswa namun berpotensi untuk itu. Oleh karena itu, usaha MBS harus lebih terfokus pada pencapaian prestasi belajar siswa.
9.    implementasi diawali dengan sosialisasi dari konsep MBS, identifikasi peran masing-masing, pembangunan kelembagaan (capacity building) mengadakan pelatihan-pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada proses pembelajaran, evaluasi atas pelaksanaan di lapangan dan dilakukan perbaikan-perbaikan.
Apakah penerapan MBS langsung bisa mencapai tujuan utamanya? Menurut Drury dan Levin dalam nurkholis (2006) MBS belum bisa secara langsung meningkatkan pencapaian prestasi belajar siswa, namun memiliki “potensi” untuk meningkatkannya. Sementara itu, Oswald (1995) menyatakan bahwa berdasarkan penelitian belum ada yang menunjukkan secara jelas pengaruh penerapan MBS terhadap pencapaian akademik siswa. Namun, hasil nyata dari MBS adalah dalam mengurangi tingkat out put, meningkatkan tingkat kehadiran siswa, dan meningkatkan kedisiplinan siswa.
Paterson (1991) juga menyatakan bahwa MBS belum berhasil meningkatkan prestasi belajar siswa karena kurangnya konsentrasi penerapan MBS pada kegiatan pembelajaran dan kurikulum, dan lebih terkonsentrasi pada hal-hal yang sifatnya tersier dan bukan yang sifatnya primer.
Menurut Slamet P.H. (2001) karena pelaksanaan MBS merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus dan melibatkan semua unsure yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, strategi yang ditempuh adalah sebagai berikut: 
1.    mensosialisasikan konsep MBS ke seluruh warga sekolah melalui seminar, diskusi, forum ilmiah dan media massa.
2.    melakukan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya berupa tantangan nyata yang harus dihadapi oleh sekolah dalam rangka mengubah manajemen berbasis pusat ke MBS. Tantangannya adalah selisih dari keadaan sekarang dengan keadaan yang diinginkan.
3.    merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari pelaksanaan MBS berdasarkan tantangan yang dihadapi.
4.    mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya.
5.    menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT.
6.    memilih langkah-langkah pemecahan persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap.
7.    membuat rencana jangka pendek, menengah dan panjang beserta program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut.
8.    melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek MBS.
9.    melakukan pemantauan terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil MBS.
2.4.9        Ukuran Keberhasilan MBS
Secara teoritis dan aplikasi praksis, sebagaimana dikemukakan Reynolds (1997) bahwa dalam konteks MBS, keberhasilan pendidikan harus didefinisikan ulang, bukan semata-mata pada ukuran standar prestasi siswa. Keberhasilan harus berada dalam konsep yang lebih luas, diantaranya mencakup hal sebagai berikut : pola ketrampilan berfikir yang lebih baik, pemahaman dan penghargaan pada multi budaya, menurunnya tingkat putus sekolah (drop out), pelayanan kepada masyarakat, terbukanya berbagai pilihan (mata pelajaran), pilihan dan kesuksesan pasca pendidikan menengah, dimilikinya konsep pribadi siswa dan kreativitas serta keindahan dalam seni. Namun, apa pun kriteria keberhasilan tersebut, pencapaiannya tergantung pada kualitas program pendidikan dan pelayanan yang diberikan. Karena itu, ukuran keberhasilan implementasi MBS di Indonesia dapat dinilai setidaknya dari beberapa kriteria di bawah ini :
Pertama MBS dianggap berhasil apabila jumlah siswa yang mendapat layanan pendidikan semaikin meningkat. Masalah siswa yang tidak bisa mendaftar sekolah karena masalah ekonomi akan dipecahkan secara bersama-sama oelh warga sekolah melalui subsidi silang dari mereka yang ekonominya lebih mampu. Keberhasilan MBS harus dilihat kemampuannya dalam menangani masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan bagi sebagian rakyat Indonesia masih terbatas pada tingkat sekolah dasar sebagai hasil dari program Inpres SD yang dilaksanakan sejak tahun 1974.
Ketidak merataan memperoleh kesempatan pendidikan terutama terjadi pada kelompok-kelompok : (a) masyarakat pedesaan dan atau masyarakat terpencil, (b) keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial dan budaya, (c) wanita, dan (d) penyandang cacat. Persoalan itu berakibat lebih lanjut pada ketimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Semua persoalan itu pada gilirannya dapat menghambat pembanunan nasional menuju tercapainya cita-cita bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil dan makmur.
Kedua, MBS dianggap berhasil apabila kualitas layanan pendidikan menjadi lebih baik. Karena layanan pendidikan tersebut berkualitas mengakibatkan prestasi akademik dan prestasi non akademik siswa juga meningkat. 
Ketiga, tingkat tinggal kelas menurun dan produktivitas sekolah semakin baik dalam arti rasio antara jumlah siswa yang mendaftar dengan jumlah siswa yang lulus menjadi lebih besar. Tingkat tinggal kelas menurun karena siswa semakin bersemangat untuk datang ke sekolah dan belajar di rumah dengan dukungan orang tua serta lingkungannya. Selain itu yang menunjang lainnya adalah peningkatan efesiensi dalam penggunaan berbagai sumber daya di sekolah.
Keempat, karena program-program sekolah dibuat bersama-sama dengan warga masyarakat dan tokoh masyarakat maka relevansi penyelenggaraan pendidikan semakin baik. Program yang diselenggarakan di sekolah baik kurikulum maupun sarana dan prasarana disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan lingkungan masyarakat.
Kelima, terjadinya keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan karena penentuan biaya pendidikan tidak dilakukan secara pukul rata, tetapi didasarkan pada kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. 
Keenam, semakin meningkatnya keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah baik yang menyangkut keputusan intruksional maupun organisasional. Dengan demikian, orang tua siswa dan masyarakat akan semakin peduli dan rasa memiliki yang lebih besar pada sekolah. Bila hal ini telah terjadi maka masyarakat akan dengan sukarela menyumbangkan tenaga dan hartanya untuk sekolah.
Ketujuh, salah satu indikator penting lain kesuksesan MBS adalah semakin baiknya iklim dan budaya kerja sekolah. Iklim dan budaya kerja yang baik akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Selanjutnya sekolah akan berubah dan berkembang lebih baik. Setiap personil akan merasa aman dan nyaman dalam menjalankan tugasnya.
Kedelapan, kesejahteraan guru dan staf seolah membaik antara lain karena sumbangan pemikiran, tenaga dan dukungan dana dari masyarakat luas. Semakin profesional seorang guru dan staf sekolah maka masyarakat semakin berkeinginan untuk memberikan sumbangan dana lebih besar.
Kesembilan, apabila semua kemajuan pendidikan di atas telah tercapai maka dampak selanjutnya adalah akan terjadinya demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Indikator keberhasilan implementasi berupa tercapainya demokratisasi pendidikan diletakkan pada posisi terakhir karena sasaran ini jangka panjang dan paling jauh dari jangkauan.


0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...